Kami FJI Solo Raya mengajak semua Pemuda dan elemen muslim untuk
memenuhi seruan jihaddi Bumi Gunung Kidul, Jogja untuk melawan orang
kuffar, untuk mencegah pemurtadaan di wilayah Gunung Kidul, Jogja dan sekitarnya, Insyaalloh. Takbir..!!! ALLAHU AKBAR
Kronologi Penolakan Paskah Adiyuswo di gunungkidul
- Paskah Adiyuswo merupakan acara tahunan orang kafir yang
diselenggarakan di berbagai kota dengan menghadirkan ribuan jemaat dari
ratusan gereja se jawa bali.
- Pada tanggal 30 maret 2014 Front Jihad Islam bersama Ormas-ormas
Islam gunung kidul mendampingi warga mendatangi rumah pendeta sujarno
guna mengklarifikasi perihal pendirian gereja dan tindakannya dalam
memurtadkan orang-orang muslim di Kec. Girisubo kab. Gunng Kidul dengan
cara memilih warga muslim kurang mampu yang sedang bekerja di ladang
(melanggar SKB 3 menteri).
- Pendeta sujarno meminta maaf dan mengakui tindakannya.
- Pendeta sujarno tidak mampu menunjukkan sura-surat terkait izin pendirian gereja
- Warga memberi waktu sujarno 1 minggu untuk menunjukkan surat izin mendirikan gereja.
- Pada tanggal 6 April 2014 warga kembali mendatangi rumah pemdeta
sujarno untuk menanyakan izin. Karena tidak bisa menunjukkan izin maka
warga disaksikan aparat kepolisian menyegel gereja tersebut.
- Kurang lebih 2 minggu setelah peristiwa tersebut terdengar informasi
bahwa paskah adiyuswo yang menghadirkan ribuan jemaat dari ratusan
gereja se jawa bali akan dilaksanakan di gunung kidul dengan menampilkan
kesenian, arak-arakan, bazar, pemecahan rekor muri tiwul terbesar,
mendatangkan artis lokal, dll.
- Sejarah acara sejenis khususnya di yogyakarta dan di Indonesia pada
umumnya adalah digunakan sebagai ajang kristenisasi. Berbagai acara
dimaksudkan untuk menarik masyarakat untuk hadir dalam acara tersebut.
- Panitia paskah mengajukan permohonan tempat penyelenggaraan ke
lapangan milik TNI AU namun ditolak. Kemudian memohon kepada lapangan
milik pemda juga ditolak. Akhirnya mengajukan permohonan ke lapangan
puslatpur mililk TNI AD di paliyan dan diterima.
- Terjadi penolakan besar-besaran mengenai paskah tersebut oleh warga
paliyan ormas islam, pondok pesantren, takmir-takmir masjid dan
tokoh-tokoh agama di DIY melalui pemasangan spanduk dan pengumpulan
tandatangan. Bahkan ketua FKUB sudah memberi rekomendasi agar tidak
dilaksanakan di Gunung kidul namun tidak dihiraukan.
- Forum Ukhuwah Islamiyah DIY (FUI) yang dipimpin oleh KH. Sunardi
Sahuri mengumpulakan lebih dari 200an tanda tangan dan cap ormas islam,
pondok pesantren, takmir-takmir masjid dan tokoh-tokoh agama di DIY
untuk kemudian dilampirkan di surat penolakan yang ditunjukkan kepada
Bupati, Komandan Korem, Komandan Kodim, Kapolres, Kapolda, Gubernur DIY
sehingga diperkirahkan terdapat ribuan orang yang menolak
acaratersebut.
- Melihat situasi yang kian memanas Pemda Gunung Kidul melakukan
mediasi dengan menghadirkan seluruh unsure masyarakat, pemerintah dan
aparat.
- Pada mediasi pertama pihak panitia ingin mengubah format acara
dengan mngurangi beberapa acara seperti pemecahan rekor muri tiwul
terbesar namun acara kesenian seperti ketoprak tetap diadakan. Pada
mediasi pertama FUI mempersilakan mengadakan namun di gereja
masing-masing.
- Mediasi kedua pihak FUI tetap meminta jika dilaksanakan silakan di
laksanakan di gereja. Panitia tidak akan mengadakan jika pejabat-pejabat
yang berwenang tidak mengijinkan.
- Ketika diklarifikasi kehadiran laskar-laskar salib dari berbagai
kota sebagai keamanan pada mediasi kedua ini pihak orang kafir hanya
diam tidak menolak namun tidak mengiyaakan.
- Mungkin melihat penolakan yang semakin meluas hingga ke luar DIY akhirnya TNI AD mencabut ijin tempat di puslatpur.
- Mengacu pada hasil mediasi kedua seharusnya dengan dicabutnya izin
tempat di puslatpur, panitia membatalkan acara tersebut namun panitia
tetap memaksakan diri untuk mengadakan adan mencari alternatf tempat
lain (mulut orang kafir tidak bias dipercaya)
- Dari sini timbul kecurigaan apa maksud panitia memaksakan diri untuk tetap diadakan dan tempat harus di gunung kidul?
- Setelah dilakukan berbagai analisis dimungkinkan karena : Terkait
motif ekonomi mengingat peserta ditarik biaya per orang 75.000 sehingga
panitia dipastikan merugi jika acara ini tidak jadi dilaksanakan,
Orang kafir ingin unjuk kekuatan terkait penyegelan gereja di Girisubo,
dan Ingin memancing emosi umat islam dengan memurtadkan lebih banyak
orang muslim melalui acara tersebut
- Pihak panitia bersama pejabat terkait tanpa FUI kembali melakukan
rapat terkait permintaan pihak panitia untuk tetap mengadakan acara
paskah.
- Dari pihak Polres Gunung Kidul sepertihalnya FUI tetap menganjurkan agar di laksanakan di gereja.
- Informasi terakhir gereja yang akan digunakan adalah gereja di daerah Wiladeg
- FUI tidak begitu saja percaya mengingat kebohongan yang sering
dilakukan orang kafir. Boleh jadi ini hanyalah akal-akalan mengingat
kapasitas gereja tidak mungkin bias menampung undangan yang mencapai
13.000.
- FUI menyeru kepada seluruh Laskar untuk siap siaga dan hadir di
wonosari dengan berkumpul di masjid agung Wonosari (Al ikhlas) pada
tanggal 30 Mei 2014 untuk mengantisipasi terjadinya gesekan terkait
berlangsungnya acara tersebut. (abu add/ frontjihadislam.or.id)
*Islam mensyariatkan jihad yang bersifat defensif, membela diri.
Dalam istilah fiqih, jihad defensif dikenal dengan istilah Jihadu
Difa’ (Jihad Defensif). Semua bangsa, negara dan agama di dunia ini
juga menganut prinsip perang demi membela diri. Dengan demikian, perang
demi membela diri ini telah disepakati dan dipraktekkan oleh seluruh
umat manusia, sejak zaman dahulu sampai sekarang.
1- Pengertian Jihad Difa’ :
Berjihad melawan musuh yang menyerang atau menduduki salah satu wilayah atau lebih dari wilayah umat Islam.
Bentuk jihad defensif yang paling sering dikenal dalam fikih Islam adalah :
- Jihad melawan musuh yang menyerang atau menduduki wilayah kaum muslimin.
- Jihad melawan musuh yang menawan satu atau lebih kaum muslimin
2- Hukum Jihad Melawan Musuh yang Menyerang Wilayah Islam
Jika musuh telah menyerang suatu negeri kaum muslimin, maka jihad
melawan musuh menjadi wajib ‘ain bagi seluruh penduduk negeri tersebut.
Bila penduduk negeri tersebut tidak mampu mengusir musuh, maka kaum
muslimin di negeri-negeri tetangga wajib membantu. Bila penduduk
negeri-negeri tetangga terebut juga belum mampu mengusir musuh,
kewajiban mengusir musuh meluas sampai akhirnya mengenai seluruh umat
Islam di seluruh penjru dunia.
Demikian juga jika musuh telah menguasai daerah atau negara Islam, maka
wajib ‘ain bagi setiap umat Islam untuk membebaskannya dari
cengkeraman musuh. Hukum fardhu ‘ain ini telah menjadi kesepakatan
seluruh ulama (ijma’).
Hukum ini berdasar beberapa ayat dan hadits :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman jika kamu bertemu sekelompok pasukan
musuh maka tetaplah kamu ditempat itu dan banyaklah berdzikir supaya
kalian menang.”(QS. Al Anfaal :45)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار
“ Hai orang-orang yang beriman jika kamu bertemu orang-orang kafir (di
medan perang) maka janganlah kalian lari membelakangi mereka.” (QS. Al
Anfaal : 15)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ !
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاللَّهِ
وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا
بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي
يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda
bersabda,” Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !!! Para shahabat
bertanya,” Apa itu ya Rasulullah? Beliau menjawab,” Berbuat syirik
kepada Alloh, perbuatan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Alloh
kecuali dengan alasan yang benar, makan harta riba, makan harta anak
yatim, melarikan diri dari medan pertempuran dan menuduh wanita
mukminah yang baik-baik berzina.”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ قَالَ, قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ
دِمَاؤُهُمْ يَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ وَيُجِيرُ عَلَيْهِمْ
أَقْصَاهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ, يَرُدُّ مُشِدُّهُمْ عَلَى
مُضْعِفِهِمْ وَمُتَسَرِّيهِمْ عَلَى قَاعِدِهِمْ, لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ
بِكَافِرٍ وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ.
Dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash, ia berkata,” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salam bersabda : Darah kaum muslimin itu satu level (sejajar
dalam masalah qisash dan diyat, pent). Orang yang paling rendah di
antara mereka bisa memberi jaminan keamanan (amanul jiwar), dan satu
sama lain saling membantu dalam menghadapi musuh. Orang yang
kendaraannya kuat membantu orang yang kendaraannya lemah, orang yang
terlibat perang membantu orang yang tidak berperang (memberi jatah
ghanimah, pent). Seorang mukmin tidak boleh dibunuh karena ia membunuh
seorang kafir, dan orang kafir yang terikat perjanjian damai tidak
boleh dibunuh.”
Di bawah ini disebutkan beberapa pernyataan ulama dari masing-masing madzhab :
[A]. Madzhab Hanafi
Imam ‘Alaudin Al-Kasany (587 H) mengatakan ;
“ Jika penduduk tsughur tidak mampu melawan orang-orang kafir, dan
ditakutkan musuh akan menguasai mereka maka kaum muslimin yang berada
di daerah-daerah terdekat di belakang daerah mereka (tsughur) wajib
berangkat berperang dan mengirim bantuan senjata dan harta, berdasar
apa yang telah kami sebutkan bahwa saat itu jihad hukumnya wajib atas
seluruh orang ahlul jihad (muslim, akal sehat, baligh, tidak cacat dan
mempunyai kemampuan, pent). Kewajiban ini gugur atas kaum muslimin
yang lain bila sebagian kaum muslimin sudah mencukupi.
Adapun jika terjadi seruan perang (mobilisasi) umum karena musuh
menyerang suatu negeri, maka jihad menjadi fardhu ‘ain atas tiap
individu dari kaum muslimin yang mampu, berdasarkan firman Allah ta’ala :
“Berangkatlah kalian berperang, baik merasa ringan maupun berat “[QS.
9:41]. Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan mobilisasi
(seruan jihad). Juga berdasar ayat ” TIdak selayaknya bagi penduduk
Madinah dan orang-orang badui yang tinggal di sekitar Madinah, untuk
tidak turut pergi berperang bersama Rasululah. Tidak patut bagi mereka
lebih mencintai diri mereka sendiri atas diri Rasulullah” [QS. 9:120]
Juga karena telah tegas ada kewajiban berjihad atas semuanya meski
sebelum terjadinya mobilisasi, dikarenakan gugurnya kewajiban jihad atas
sebagian orang itu baru terjadi bila sebagian lain telah
melaksanakannya (itupun dengan syarat telah menuntaskan pekerjaan,
pent).
Jika terjadi mobilisasi umum, jihad tidak akan terealisasi kecuali
dengan seluruh umat turut berjihad. Maka jihad tetap fardhu ‘ain atas
seluruh umat Islam, seperti kedudukan shoum dan sholat. Seorang budak
berperang tanpa harus minta izin tuannya, seorang istri berperang tanpa
minta izin suami ; karena menurut syariat, manfaat budak dan istri
dalam urusan-urusan ibadah yang fardhu ain merupakan pengecualiaan dari
kepemilikan tuan dan suami; sebagaimana dalam hal shaum dan shalat.
Demikian juga boleh seorang anak keluar berperang tanpa ijin orang tua,
sebab hak kedua orang tua tidak dimenangkan (harus dikalahkan) dalam
persoalan-persoalan fardhu ‘ain seperti dalam shoum dan sholat. Wallahu
A’lam.”
Imam Ibnu ‘Abidin Muhammad Amin bin Umar Al Hanafi (1252 H) mengatakan :
” Hukum jihad adalah fardhu ‘ain bila musuh menyerang sebuah wilayah
(daerah perbatasan) kaum muslimin, yaitu bagi kaum muslimin yang
terdekat dengan wilayah itu. Adapun bagi penduduk yang jauh dari
wilayah tersebut adalah fardhu kifayah jika tidak diperlukan untuk
membela wilayah yang diserang itu. Tapi kalau mereka dibutuhkan karena
penduduk wilayah yang diserang lemah (tidak mampu) mengusir musuh atau
tidak lemah namun malas-malasan maka kewajiban melawan musuh menjadi
fardhu ‘ain atas penduduk yang lebih jauh dari wilayah itu seperti
wajibnya sholat dan shaum. Mereka tidak boleh meninggalkannya, begitu
seterusnya sampai akhirnya wajib atas seluruh umat Islam di belahan
bumi Timur dan Barat.”
Imam Muhammad bin Ali Al-Hashkafi (1088 H) pengarang Ad-Durul Mukhtar
mengataan (Dan fardhu ‘ain ketika musuh menyerang, maka semuanya keluar
berperang meski tanpa izin ). Imam Ibnu Abidin menerangkan maksud
perkataan ini dengan mengatakan:
” Maksudnya (fardhu ain atas) orang yang dekat dengan musuh. Jika
mereka tidak mampu atau bermalas-malasan, maka kewajiban (fardhu ain
mengusir musuh) meluas atas orang yang lebih dekat kepada mereka,
demikian seterusnya sampai kewajiban mengenai kaum muslimin di Timur
dan Barat…Dalam Al Fatawa Al Bazaziyah disebutkan,”Sekiranya ada
seorang wanita muslimah yang tertawan di bumi belahan timur, wajib bagi
penduduk bumi belahan barat untuk membebaskannya.”
Imam Al Jashash Al-Hanafi berkata :
“ Sudah sama diketahui termasuk akidah (keyakinan) seluruh kaum
muslimin, bahwa jika penduduk tsughur (perbatasan yang berbatasan
dengan daerah musuh–pent) takut terhadap serangan musuh dan mereka
tidak mampu melawan mereka, sehingga mereka mengkhawatirkan negeri,
nyawa dan keturunan mereka, maka wajib bagi seluruh umat Islam untuk
berangkat perang sampai mereka bisa menolak serangan musuh. Hal ini
tidak diperselisihkan lagi di kalangan umat Islam, karena tak seorang
muslimpun yang menyatakan bolehnya berdiam diri tidak melawan mereka
(musuh) sehingga mereka menumpahkan darah kaum muslimin dan menawan
keturunannya.”
Imam At Tahanawi mengatakan:
” Jika orang-orang kafir menyerang sebuah negeri dari negeri-negeri
kaum muslimin, jihad berubah menjadi fardhu ‘ain atas setiap mukalaf
yang tidak mempunyai udzur. Para ulama telah berijma’ bahwa jika musuh
menyerang salah satu negeri kaum muslimin, wajib hukumnya atas setiap
mukalaf penduduk negeri tersebut yang tidak mempunyai udzur untuk
keluar berperang, baik ia seorang merdeka atau budak, kaya atau miskin,
karena jihad saat itu menjadi farhu ‘ain sehingga tidak ada kekuasaan
tuan atas seorang budak, hak orang yang menghutangi dan hak orang tua,
seperti sholat dan shaum (tak perlu izin tuan, orang yang mempiutangi
dan orang tua-ed).
Imam Abu Hanifah mengatakan seorang perempuan berangkat berperang tanpa
perlu izin suaminya, karena suami tidak bisa mencampuri urusan yang
hukumnya sudah fardhu ‘ain. Jika penduduk negeri itu sudah cukup untuk
mengusir musuh, maka kewajiban gugur atas penduduk negeri-negeri di
belakangnya. Tetapi jika penduduk negeri itu saja belum cukup (kifayah),
maka penduduk negeri yang dekat dengan mereka wajib membantu. Jika
penduduk yang paling dekat tidak membantu, maka wajib bagi penduduk
negeri-negeri yang lebih dekat lainnya untuk membantu.”
Fatwa yang sama disebutkan oleh imam Zainudin Ibnu Nujaim Al-Hanafi
(970 H) dalam Al-Bahrur Rooiq Syarhu Kanzud Daqo-iq 5/191 dan imam
Kamaludin Muhammad Abdul Wahid Ibnul Hammam Al-Hanafi (861 H) dalam
Fathul Qadir Syarhul Hidayah 5/191.
[B]. Madzhab Maliki
Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan :
” Jihad hukumnya fardhu ‘ain umum atas setiap orang yang mampu
melakukan perlawanan, peperangan dan memanggul senjata dari kalangan
orang-orang baligh yang merdeka. Ini manakala musuh memerangi dan
menguasai Negara Islam. Jika demikian halnya, maka wajib bagi seluruh
penduduk Negara tersebut untuk berperang; baik ringan maupun berat,
anak-anak muda maupun orang tua.
Tidak boleh ada yang tidak ikut keluar berperang, baik ia kaya maupun
miskin. Jika penduduk negeri itu tak mampu mengusir musuh, maka
penduduk negara yang berdekatan dan bertetangga (baik mereka sedikit
maupun banyak) wajib ikut mengusir musuh, sampai mereka diketahui mampu
menahan dan mengusir musuh.
Demikian juga setiap orang yang mengetahui bahwa penduduk negeri yang
diserang lemah tak sanggup mengusir musuh, dan ia tahu bahwa ia bisa
bergabung dan membantu mereka, maka wajib baginya keluar berperang,
karena umat Islam adalah satu tangan (kesatuan) dalam menghadapi musuh.
Jika penduduk negeri yang diserang musuh berhasil mengusir musuh, maka
barulah kewajiban gugur atas kaum muslimin yang lain.
Seandainya musuh bergerak mendekati Darul Islam namun belum masuk menyerbu, kaum muslimin tetap wajib keluar mengusir mereka.”
Imam Ibnu al Arabi Al-Maliki berkata :
” Kadang terjadi kondisi di mana mobilisasi umum itu wajib karena jihad
telah menjadi fardhu ‘ain dengan menangnya musuh atas satu daerah dari
daerah-daerah kaum muslimin atau berkuasanya musuh di negeri kaum
muslimin, maka wajib bagi seluruh orang untuk keluar berjihad. Jika
mereka meremehkannya maka mereka berdosa.”
Ketika menafsirkan firman Allah QS. At Taubah : 41 (artinya :
berangkatlah kalian berperang dalam keadaan ringan maupun berat…), Imam
al Qurthubi mengatakan :
“ Kadang terjadi kondisi di mana mobilisasi umum itu wajib …yaitu
ketika jihad telah menjadi fardhu ‘ain dengan menangnya musuh atas satu
daerah dari daerah-daerah kaum muslimin, atau mereka menduduki
(menjajah) Negara Islam. Maka saat itu wajib bagi seluruh penduduk
negeri itu untuk keluar dan berangkat berperang; baik dalam keadaan
berat maupun ringan, masih muda maupun sudah tua; masing-masing
berdasar kemampuannya. Siapa mempunyai ayah tak perlu izin ayahnya,
demikian pula yang tak berayah lagi.
Tidak boleh ada yang tidak ikut keluar berperang, baik ia kaya maupun
miskin. Jika penduduk negeri itu tak mampu mengusir musuh, maka
penduduk negara yang berdekatan dan bertetangga wajib ikut mengusir
musuh, sampai mereka diketahui mampu menahan dan mengusir musuh.
Demikian juga setiap orang yang mengetahui bahwa penduduk negeri yang
diserang lemah tak sanggup mengusir musuh, dan ia tahu bahwa ia bisa
bergabung dan membantu mereka, maka wajib baginya keluar berperang,
karena umat Islam adalah satu tangan (kesatuan) dalam menghadapi musuh.
Jika penduduk negeri yang diserang musuh berhasil mengusir musuh, maka
barulah kewajiban gugur atas kaum muslimin yang lain.
Seandainya musuh bergerak mendekati Darul Islam namun belum masuk
menyerbu, kaum muslimin tetap wajib keluar mengusir mereka sampai
dienullah menang, wilayah terjaga, penduduk terlindungi dan musuh
dihinakan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat lagi.”
Jika ada yang bertanya,” Apa yang harus dilakukan oleh seorang diri
jika semua orang melalaikan tugas ini ?” Maka dijawab,” Ia harus
menebus (membebaskan) satu orang tawanan.” Ada ulama mengatakan (yang
mengatakan adalah imam Ibnu Al Arabi Al Maliki, pent) : Musuh telah
menduduki negeri kami (Andalus) pada tahun 527 H. Mereka merajalela
seenaknya di tengah daerah-daerah kami, menawan orang-orang terbaik di
antara kami dan memasuki negeri kami dengan jumah pasukan yang
menggetarkan masyarakat. Maka saya katakan kepada gubernur: ” Ini dia
musuh Allah sudah masuk dalam “perangkap dan jarring”. Maka hendaklah
seluruh orang keluar (melawan) sampai tidak tersisa lagi seorangpun di
seluruh daerah, lalu mengepung musuh. Musuh pasti akan binasa, mustahil
bisa selamat, jika Allah memudahkan kalian untuk mengalahkannya.”
Sayang, dosa dan maksiat telah mengalahkan masyarakat (sehingga tidak
mau bertempur). Semua orang sudah menjadi musang (pelanduk) yang lebih
suka bersembunyi di sarangnya, sekalipun tahu tetangganya sedang
menghadapi tipu daya musuh. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Fatwa serupa disebutkan oleh imam Syamsudien Muhammad bin Ahmad bin
Arafah Al-Dasuqi Al-Maliki (1230 H) dalam Hasyiyah Ad Dasuqi ‘ala Asy
Syarhil Kabir 2/174.
[c]. Madzhab Syafi’i
Imam An Nawawi berkata :
” Jenis kedua. Jihad yang hukumnya fardhu ‘ain, yaitu jika orang kafir
menduduki negeri kaum muslimin atau menyerangnya dan sudah berada di
pintu gerbangnya ingin masuk menguasai namun belum memasukinya, maka
hukumnnya fardhu ‘ain., dengan perincian yang akan kami jelaskan insya
Allah. Dalam jihad jenis ini, tidak wajib meminta izin kedua orang tua
dan orang yang mempiutangi…Jika penduduk negeri (yang diserang) tidak
mempunyai kifayah (kecukupan dan kemampuan mengusir musuh), wajib atas
mereka (kaum muslimin di Negara-Negara lain) untuk terbang ke arah
mereka (segera berangkat membantu mengusir musuh).
Inilah makna perkataan imam Al-Baghawi (jika musuh menyerang Negara
Islam, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi kaum muslimin yang dekat dan
fardhu kifayah bagi kaum muslimin yang jauh…Bagaimana bisa membiarkan
kaum kafir menguasai Negara Islam, padahal mereka bisa dilawan ?”
Beliau juga berkata :
” Jika orang-orang kafir memasuki sebuah negeri kita, atau menguasainya
atau sudah berada di pintu gerbangnya namun belum masuk, sedangkan
jumlah mereka seimbang (sama banyak) dengan penduduk negeri tersebut,
atau lebih sedikit dari dua kali lipat penduduk negeri tersebut, maka
jihad pada saat itu menjadi fardhu ‘ain. Seorang budak berangkat
berperang tanpa perlu izin tuannya, seorang wanita berangkat berperang
tanpa perlu izin suaminya jika memang si wanita bisa membela diri
menurut salah satu dari dua pendapat yang lebih benar. Demikian juga
seorang anak berangkat berperang tanpa perlu izin kedua orang tuanya,
orang yang berhutang berangkat berperang tanpa perlu izin orang yang
mempiutangi. Pendapat ini juga menjadi pendapat imam Malik, Abu Hanifah
dan Ahmad bin Hanbal.”
Beliau juga berkata :
” Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) menyatakan jihad hari ini fardhu
kifayah, kecuali jika orang-orang kafir menduduki negeri kaum
muslimin, maka saat itu jihad menjadi fardhu ‘ain. Jika penduduk negeri
tersebut tidak mempunyai kemampuan yang cukup (kifayah), maka wajib
bagi penduduk negeri selainnya untuk membantu sehingga tercapai
kifayah.”
Imam Al Juwaini berkata :
“ Adapun jika orang-orang kafir menduduki negeri kaum muslimin, maka
para ulama telah sepakat bahwa hukumnya fardhu ‘ain atas kaum muslimin
untuk segera berangkat perang melawan mereka baik berombongan atau
sendirian, sehingga seorang budak berangkat perang secara paksa dan
keluar dari belenggu ketaatan kepada tuannya.”
Fatwa serupa disebutkan juga oleh imam Syafi’i dalam Al-Umm 4/170,
imamSyamsudin Muhammad bin Ahmad bin Hamzah Al-Ramli (1004 H) dalam
Nihayatu Muhtaj Syarhul Minhaj 8/58, imam Muhammad Syamsudien
Al-Syarbini Al-Khatib (977 H) dalam Mughnil Muhtaj Syarhul Minhaj 4/209.
imam Ibnu Nuhas Ad Dimyathi dalam Masyari’ul Asywaq ila Mashari’il
Usyaq 1/101 dan imam Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Al-Zawajir ‘an
Iqtirafil Kabair 2/359.
[d]. Madzhab Hambali.
Imam Ibnu Qudamah berkata,” Hukum jihad menjadi fardhu ‘ain dengan tiga sebab :
Pertama: Pada waktu pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan
orang-orang kafir dan berhadapan di medan pertempuran. Bagi yang berada
di tempat ketika itu diharamkan melarikan diri. Ia wajib bertempur
menghadapi musuh. Dalilnya adalah firman Alloh
كَمَآأَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِن بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
“ Sebagaimana Rabbmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran,
padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak
menyukainya.” (QS. Al Anfal: 5).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار، وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ
فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ
الْمَصِيرُ
“Hai orang-orang yang beriman apabila kalian bertemu dengan orang-orang
kafir yang sedang menyerang kalian, maka janganlah kalian mudur
membelakangi mereka. Barangsiapa yang mundur membelakangi mereka ketika
itu, kecuali berbelok untuk mengatur siasat atau hendak menggabungkan
diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan
membawa kemurkaan Alloh dan tempat kembalinya adalah neraka Jahannam.
Dan amat buruklah tempat kembalinya”. (QS. Al-Anfal: 15-16).
Kedua: Bila musuh datang menyerbu negri kaum muslimin, wajib bagi
penduduk negri itu untuk berperang menghadapi musuh guna mempertahankan
daerah mereka.
Ketiga: Bila imam memerintahkan kaum muslimin untuk keluar berperang.
Maka bagi yang ditunjuk wajib untuk memenuhi seruan. Berdasarkan firman
Allah [QS. At Taubah :38-39]. Serta berdasarkan sabda Rasululloh
shollallahu ‘alaihi wasallam,”Jika kamu diminta untuk berangkat
(berjihad fi sabilillah) hendaklah kamu segera berangkat.” (HR Muslim
dan Ahmad).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan :
وَأَمَّا قِتَالُ الدَّفْعِ فَهُوَ أَشَدُّ أَنْوَاعِ دَفْعِ
الصَّائِلِ عَنِ اْلحُرْمَةِ وَالدِّينِ فَوَاجِبٌ إِجْمَاعاً ،
فَالْعَدُوُّ الصَّائِلُ الَّذِي يُفْسِدُ الدِّينَ وَالدُّنْيَا لاَ
شَيْءَ أَوْجَبُ بَعْدَ اْلإِيْمَانِ مِنْ دَفْعِهِ ، فَلاَ يُشْتَرَطُ
لَهُ شَرْطٌ بَلْ يُدْفَعُ بِحَسْبِ اْلإِمْكَانِ ، وَقَدْ نَصَّ عَلَى
ذَلِكَ الْعُلَمَاءُ مِنْ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ، فَيَجِبُ
التَّفْرِيقُ بَيْنَ دَفْعِ الصَّائِلِ الظَّالِمِ الْكَافِرِ وَبَيْنَ
طَلَبِهِ فِي بِلاَدِهِ
” Perang defensive merupakan bentuk perang melawan agresor yang
menyerang kehormatan dan agama yang paling wajib, hukumnya wajib
berdasar ijma’. Musuh yang menyerang yang merusak dien dan dunia tidak
ada kewajiban yang lebih penting setelah beriman selain melawannya,
maka tidak dipersyaratkan adanya syarat apapun, tetapi dilawan sesuai
kemampuan yang ada. Ini sudah ditegaskan para ulama madzhab kami dan
madzhab lainnya, maka wajib dibedakan antara melawan musuh dzalim kafir
yang menyerang (jihadu difa’) dengan jihad melawan mereka di negeri
mereka (jihadu thalab).”
Beliau juga berkata :
“Apabila musuh menyerang negeri Islam maka tidak diragukan lagi atas
wajibnya melawan mereka atas orang yang berada paling dekat dengan
mereka kemudian orang yang paling dekat setelah mereka, karena
negeri-negeri kaum muslimin itu bagaikan satu negeri, dan sesungguhnya
juga wajib untuk an-nafiir ke daerah tersebut tanpa seizin orang tua
atau orang yang menghutangi. Pendapat-pendapat imam Ahmad menegaskan hal
ini.”
Imam Manshur bin Yunus Al Bahuti (1051 H) mengatakan :
“ Barang siapa berada dalam barisan perang sedang ia orang yang terkena
kewajiban jihad (yaitu seorang laki-laki, merdeka, mukalaf, mampu dan
muslim) seperti ketika musuh menyerangnya, atau menyerang negerinya,
atau kaum muslimin di negeri yang jauh membutuhkan bantuan jihadnya atau
pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan kafir atau imam
memerintahkannya berperang (dan ia tidak mempunyai udzur) maka jihad
menjadi fardhu ‘ain atasnya.”
Para ulama kontemporer juga mengutip ijma’ seluruh ulama atas fardhu
‘ain jihad bila musuh menyerang atau menduduki sebuah wilayah umat
Islam.
Dr. Abdulloh Azzam berkata :
“ Kondisi pertama jihad menjadi fardhu ‘ain yaitu orang-orang kafir
menyerang sebuah negeri kaum muslimin. Dalam kondisi ini seluruh ulama
salaf, khalaf, fuqaha’ empat madzhab, para ulama hadits dan ulama
tafsir dalam seluruh masa telah bersepakat bahwa jihad pada saat itu
telah menjadi fardhu ‘ain bagi penduduk negeri tersebut dan penduduk
negeri terdekat. Seorang anak berangkat berperang tanpa perlu izin orang
tuanya, seorang istri berangkat perang tanpa perlu izin suaminya, dan
seorang yang berhutang berangkat berperang tanpa perlu izin orang yang
mempiutangi.
Jika penduduk negeri tersebut tidak mampu mengusir musuh, atau mereka
tidak sungguh-sungguh atau malas atau tidak mau berperang mengusir
musuh, maka kewajiban fardhu ‘ain mengenai penduduk negeri-negeri
terdekat, kemudian yang lebih jauh, kemudian yang lebih jauh lagi dan
seterusnya. Jika penduduk negeri terdekat juga tidak mampu mengusir
musuh atau tidak sungguh-sungguh mengusir musuh, maka kewajiban terus
mengenai penduduk negeri terdekat seterusnya sampai akhirnya mengenai
seluruh kaum muslimin di seluruh dunia.”
Beliau juga berkata :
“ Apabila musuh menyerang sejengkal tanah saja dari negeri kaum
muslimin, maka jihad hukumnya menjadi fardlu ‘ain menurut pendapat
seluruh ulama fiqih, tafsir dan hadits.
Jika jihad telah menjadi fardhu ‘ain, maka tidak ada bedanya antara
jihad dengan sholat dan shaum menurut ketiga madzhab (Hanafi, Maliki,
Syafi’i), sedang menurut madzhab Hanbali didahulukan sholat…
Jika jihad telah menjadi fardhu ‘ain maka tidak perlu izin kepada kedua
orang tua sebagaimana tidak perlunya izin kepada kedua orang tua untuk
melaksanakan sholat Subuh atau shaum Ramadhan.
Pada saat jihad menjadi fardhu ‘ain, maka tidak ada bedanya antara
orang yang tidak berjihad tanpa udzur dengan orang yang tidak shaum
Ramadhan padahal ia tidak mempunyai udzur.
(Pada saat jihad menjadi fardhu ‘ain) Seberapapun besarnya harta yang
disumbangkan tetap tidak bisa mewakili jihad dengan nyawa, dan kewajiban
jihad tetap ada di pundaknya. Maka sebagaimana ia tidak bisa mengganti
sholat dan shaum dengan membayar seberapapun besarnya harta, demikian
juga dengan jihad.”
Catatan Sangat Penting dari Ulama
Dalam jihad normal (jihad ofensif), kaum muslimin boleh mundur ketika
kekuatan musuh lebih dari dua kali lipat kekuatan tentara Islam. Namun
dalam jihad defensif, meski kekuatan musuh berkali-kali lipat dari
kekuatan kaum muslimin, kaum muslimin tidak boleh mundur. Musuh harus
dilawan, sesuai dengan kemampuan yang ada.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
وَقِتَالُ الدَّفْعِ مِثْلُ أَنْ يَكُونَ اْلعَدُوُّ كَثِيراً لاَ
طَاقَةَ لِلْمُسْلِمْينَ بِهِ لَكِنْ يُخَافُ إِنِ انْصَرَفُوا عَنْ
عَدُوِّهِمْ عَطَفَ الْعَدُوُّ عَلَى مَنْ يَخْلُفُونَ مِنَ
اْلمُسْلِمِينَ فَهُنَا قَدْ صَرَّحَ أَصْحَابُنَا بِأَنَّهُ يَجِبُ أَنْ
يَبْذُلُوا مُهَجَهُم ومُهَجَ مَنْ يُخَافُ عَلَيهِمْ فِي الدَّفْعِ
حَتىَّ يَسْلَمُوا، وَنَظِيرُهَا أَنْ يَهْجُمَ اْلعَدُوُّ عَلَى بِلاَدِ
اْلمُسْلِمِينَ وَتَكُونُ المُقَاتِلَةُ أَقَلَّ مِنَ النِّصْفِ فَإِنِ
انْصَرَفُوا اِسْتَولَوْا عَلَى الْحَرِيمِ ، فَهَذَا وَأَمْثَالُهُ
قِتَالُ دَفْعٍ لاَ قِتَالُ طَلَبٍ لاَ يَجُوزُ ْالاِنْصِرَافُ فِيهِ
بِحَالٍ ، وَوَقْعَةُ أُحُدٍ مِنْ هَذَا اْلبَابِ
“ Perang defensif seperti ketika musuh banyak dan kaum muslimin
tidak mampu melawan mereka namun ditakutkan kalau kaum muslimin
menghindar dari musuh, maka musuh akan menyerang orang-orang yang ada
dibelakang kaum muslimin, maka dalam kondisi seperti ini para teman
kami (ulama’ Hambali) menegaskan wajib bagi kaum muslimin mengerahkan
nyawa mereka dan nyawa orang yang mereka takutkan keselamatannya untuk
melawan musuh sampai mereka selamat. Contoh semisal adalah ketika
orang-orang kafir menyerang negara Islam sedangkan orang yang berperang
tidak mencapai setengah, jika mereka menghindar, musuh akan menguasai
kaum wanita (tentunya juga anak-anak, orang tua, pent). Kasus ini dan
contoh yang semisal termasuk dalam kategori perang defensife bukan
ofensif, sama sekali tidak boleh menghindar dari medan perang, dan
perang Uhud termasuk dalam bab (kategori) ini.”
Beliau juga berkata :
فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ الْعَدُوُّ اْلهُجُومَ عَلَى اْلمُسْلِمِينَ
فَإِنَّهُ يَصِيرُ دَفْعُهُ وَاجِباً عَلَى اْلمَقْصُودِينَ كُلِّهِمْ
وَعَلَى غَيْرِ اْلمَقْصُودِينَ ِلإِعَانَتِهِمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى :
وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَليَكمُ ُالنَّصْرُ ، وَكَمَا
أَمَرَ النَّبِيُّ بِنَصْرِ اْلمُسْلِمِ ، وَسَوَاءٌ أَكَانَ الرَّجُلُ
مِنَ اْلمُرْتَزِقَةِ لِلْقِتَالِ أَوْ لَمْ يَكُنْ. وَهَذَا يَجِبُ
بِحَسْبِ اْلإِمْكَانِ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ مَعَ
الْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ وَالْمَشْيِ وَالرُّكُوبِ ، كَمَا كَانَ
الْمُسْلِمُونَ لَمَّا قَصَدَهُمُ الْعَدُوُّ عَامَ الْخَنْدَقِ لَمْ
يَأْذَنِ اللهُ فِي تَرْكِهِ أَحَداً كَمَا أَذِنَ فِي تَرْكِ اْلجِهَادِ
اِبْتِدَاءً لِطَلَـبِ الْعَدُوِّ، وَالَّذِي قَسَّمَهُمْ فِيهِ إِلىَ
قَاعِدٍ وَخَارِجٍ ، َبلْ ذَمَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَ النَّبِيَّ
يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ ، فَهَذَا دَفْعٌ عَنِ الدِّينِ
وَالْحُرْمَةِ وَاْلأَنْفُسِ وَهُوَ قِتَالُ اضْطِرَارٍ
” Adapun jika musuh akan (ingin) menyerang kaum muslimin, maka wajib
hukumnya melawannya atas seluruh kaum muslimin yang akan diserang, dan
kaum muslimin yang tidak diserang untuk membantu. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala (Jika mereka meminta pertolongan kalian dalam membela
agama, maka wajib bagi kalian untuk membantu mereka, QS. 8:72) Juga
berdasar perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk senantiasa
menolong muslim yang lain. (Hukum ini berlaku) baik ia seorang yang
mempunyai harta untuk berperang maupun tidak mempunyai harta.
Hukumnya wajib atas setiap individu sesuai kemampuan, dengan nyawa dan
hartanya, baik sedikit maupun banyak, dengan berjalan atau
berkendaraan. Ini sebagaimana kondisi kaum muslimin saat diserang musuh
pada tahun Khandaq.
Dalam perang itu, Allah Ta’ala tidak mengizinkan seorangpun untuk tidak
berjihad. (ini berbeda kondisi dengan) sebagaimana Allah mengizinkan
untuk tidak berjihad bila jihadnya adalah menyerang musuh (Jihadu
Thalab). di mana Allah membagi kaum muslimin menjadi dua kelompok :
kelompok yang tidak berperang (qo’id) dan kelompok yang berperang
(khorij). (Dalam perang Khandaq yang hukumnya fardhu ain, Allah tidak
memberi izin seorangpun yang memenuhi syarat untuk tidak berjihad,
pent) bahkan Allah Ta’ala mencela orang-orang yang meminta izin kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam untuk tidak berjihad dengan
mengatakan rumah-rumah kami terbuka (tidak ada yang menjaga). (Karena)
Perang ini adalah untuk membela agama, kehormatan dan nyawa, maka ia
merupakan perang karena kondisi darurat.”
Imam Ibnu Qayyim mengatakan :
فَقِتَالُ الدَّفْعِ أَوْسَعُ مِنْ قِتَالِ الطَّلَبِ وَأَعَمُّ
وُجُوباً, وَلِهَذَا يَتَعَيَّنُ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ ، يُجَاهِدُ فِيهِ
اْلعَبْدُ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ وَبِدُونِ إِذْنِهِ ، وَالْوَلَدُ بِدُونِ
إِذْنِ أَبَوَيهِ ، وَالْغَرِيمُ بِدُونِ إِذْنِ غَرِيمِهِ . وَهَذَا
جِهَادُ اْلمُسْلِمِينَ يَومَ أُحُدٍ وَالْخَنْدَقِ وَلاَ يُشْتَرَطُ فِي
هَذَا النَّوْعِ مِنَ الْجِهَادِ أَنْ يَكُونَ الْعُدُوُّ ضَعْفَيْ
اْلمُسْلِمِينَ فَمَا دُونَ فَإِنَّهُمْ كَانُوا يَوْمَ أُحُدٍ
وَالْخَنْدَقِ أَضْعَافَ الْمُسْلِمِينَ, فَكَانَ الْجِهَادُ وَاجِباً
عَلَيهِمْ ِلأَنَّهُ جِهَادُ ضَرُورَةٍ وَدَفْعٍ لاَجِهَادُ اِخْتِيَارٍ
“ Perang defensif lebih luas dan lebih umum kewajibannya dari perang
ofensif. Karena itu perang defensif wajib atas setiap individu.
Seorang budak berperang baik dengan izin tuannya maupun tidak, seorang
anak berperang meskim tanpa izin orang tuanya, orang yang berhutang
berperang meski tanpa izin orang yang mempiutangi. Inilah jihad kaum
muslimin pada perang Uhud dan Khandaq. Dalam perang defensif ini, tidak
disyaratkan musuh dua kali lipat kaum muslimin atau kurang dari itu,
karena pada saat perang Uhud dan Khandaq jumlah musuh berlipat-lipat
dari jumlah kaum muslimin. Jihad tetap wajib atas mereka karena saat
itu jihad darurat (terpaksa), bukan karena jihad pilihan sendiri.”
Seperti telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya, hukum asal jihad
yang semula fardhu kifayah akan menjadi fardhu ‘ain manakala tentara
kaum muslimin yang melaksanakan jihad tidak mampu menuntaskan pekerjaan
(tujuan jihad) yaitu tegaknya kalimat Allah ta’ala dan terusirnya
musuh. Maka ketika penduduk negeri yang diserang tidak mampu mengusir
musuh, maka fardhu ‘ain atas penduduk negeri-negeri Islam lain untuk
membantu mengusir musuh, sekalipun semula fardhu kifayah atas mereka
membantu negeri yang diserang.
Imam Al Qurthubi mengatakan :
كُلُّ مَنْ عَلِمَ بِضَعْفِهِمْ عَنْ عَدُوِّهِمْ وَعَلِمَ أَنَّهُ
يُدْرِكُهُمْ وَيُمْكِنُهُ غِيَاثُهُمْ لَزِمَهُ أَيْضاً الْخُرُوجُ
إِلَيهِمْ
“ Siapa saja mengetahui kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuh,
dan ia mengetahui bahwa ia bisa membantu mereka; maka ia juga wajib
keluar berperang mengusir musuh.”
3. Hukum Jihad Melawan Orang-Orang Kafir yang Menawan Sebagian Kaum Muslimin
Ketika musuh menawan sebagian kaum muslimin, umat Islam berkewajiban
membebaskannya, baik dengan cara diplomasi damai, tukar menukar
tawanan, membayar tebusan, maupun cara-cara damai lainnya yang
dibenarkan oleh syariat. Bila semua cara gagal, umat Islam wajib
berjihad untuk membebaskan kaum muslimin yang tertawan. Para ulama
menyebutkan, hukum jihad melawan orang-orang kafir yang menawan sebagian
kaum muslimin ini, adalah fardhu kifayah. Namun bila ia tidak
terlaksana dengan tuntas, dan tawanan tidak bisa dibebaskan, hukum jihad
menjadi fardhu ‘ain.
Hal ini berdasar kepada beberapa dalil :
(a). Firman Allah Ta’ala :
وَمَالَكُمْ لاَتُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ
مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَآءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ
رَبَّنَآأَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا
وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ
نَصِيًرا
“ Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan membela
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita maupun anak-anak yang
semuanya berdo’a,” Ya Allah, keluarkanlah kami dari negeri yang
penduduknya dzalim ini dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan
berilah kami penolong dari sisi-Mu”. (QS. AnNisa’: 4:75).
Imam Abu Bakar ibnu al Araby al Maliky berkata :
[قَالَ عُلَمَاؤُنَا : أَوْجَبَ اللهُ سُبْحَانَهُ فِي هَذِهِ ْالآيَةِ
اْلقِتَالَ ِلاسْتِنْقَاذِ اْلأَسْرَى مِنْ يَدِ اْلعَدُوِّ مَعَ مَا فِي
اْلقِتَالِ مِنْ تَلَفِ النُّفُوسِ ، وَكَانَ بَذْلُ اْلمَالِ فِي
فِدَائِهِمْ أَوْجَبَ لِكَوْنِهِ دُونَ النَّفْسِ وَأَهْوَنَ مِنْهَا ،
وَقَدْ رَوَى اْلأَئِمَّةُ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : (أَطْعِمُوا
اْلجَائِعَ ، وَعُودُوا ْالمَرِيضَ ، وَفَكُّوا ْالعَانِي) ، وَقَدْ قَالَ
مَالِكٌ : (عَلَى النَّاسِ أَنْ يَفْدُوا ْالأُسَارَى ِبجَمِيعِ
أَمْوَالِهِمْ ، وَلِذَلِكَ قَالَ : عَلَيهِمْ أَنْ يُوَاسُوهُمْ ،
فَإِنَّ اْلمُوَاسَاةَ دُونَ اْلمُفَادَاةِ]
” Dalam ayat ini ada beberapa masalah;
Pertama. Para ulama kami menyatakan, dalam ayat ini Allah mewajibkan
perang untuk membebaskan tawanan dari tangan musuh meskipun dalam
perang itu ada nyawa yang melayang. Adapun mengeluarkan harta untuk
menebus mereka, hukumnya lebih wajib lagi karena lebih ringan dari
mengorbankan nyawa. Para ulama telah meriwayatkan bahwasanya Nabi
shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berilah makan orang yang lapar,
jenguklah orang yang sakit dan bebaskanlah tawanan !.” Imam Malik
mengatakan,” Manusia wajib membebaskan tawanan (meskipun
menghabiskan–pent) dengan seluruh harta mereka.” Karena itu, imam Malik
mengatakan,” Kaum muslimin harus menyantuni (menolong) mereka, karena
menyantuni (menolong) lebih ringan dari menebus.”
Keempat. Jika terjadi mobilisasi umum karena musuh telah menguasai
daerah umat Islam atau menguasai tawanan, maka mobilisasi itu menjadi
umum dan wajib keluar perang baik dalam keadaan ringan maupun berat,
berjalan kaki maupun berkendaraan, merdeka maupun budak, orang yang
mempunyai bapak keluar tanpa harus minta izin bapaknya demikian juga
yang tak mempunyai bapak, sampai agama Allah menang, daerah umat Islam
terlindungi, musuh terkalahkan dan tawanan terbebaskan. Dan dalam hal
ini tak ada perbedaan pendapat.”
Imam Al-Qurthubi berkata :
قَولُهُ تَعَالَى ( وَمَا لَكُمْ لا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ )
: حَضٌّ عَلَى الْجِهَادِ ، وَهُوَ يَتَضَمَّنُ تَخْلِيصَ
اْلمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ أَيْدِي اْلكَفَرَةِ اْلمُشْرِكِينَ الَّذِينَ
يَسُومُونَهُمْ سُوءَ الْعَذَابِ وَيَفْتِنُونَهُمْ عَنِ الدِّينِ ،
فَأَوْجَبَ تَعَالَى اْلجِهَادَ ِلإِعْلاَءِ كَلِمَتِهِ وَإِظْهَارِ
دِينِهِ وَاْستِنْقَاذِ اْلمُؤْمِنِينَ الضُّعَفَاءِ مِنْ عِبَادِهِ
وَإِنْ كَانَ فِي ذَلِكَ تَلَفُ النُّفُوسِ ، وَتَخْلِيصُ اْلأُسَارَى
وَاجِبٌ عَلَى جَمَاعَةِ اْلمُسْلِمِينَ إِمَّا بِالْقِتَالِ وَإِمَّا
بِاْلأَمْوَالِ وَذَلِكَ أَوْجَبُ لِكَوْنِهَا دُونَ النُّفُوسِ إِذْ هِيَ
أَهْوَنُ مِنْهَا ، قَالَ مَالِكٌ : وَاجِبٌ عَلَى النَّاسِ أَنْ
يَفْدُوا اْلأُسَارَى بِجَمِيعِ أَمْوَالِهِمْ ، وَهَذَا لاَ خِلاَفَ
فِيهِ”
” Ini merupakan sebuah hasungan untuk berjihad, dan mengandung
(perintah) untuk membebaskan orang-orang yang tertindas (lemah) dari
tangan orang-orang kafir musyrik yang menyiksa dengan keji dan
menghalang-halangi (fitnah) mereka dari melaksanakan ajaran dien. Allah
Ta’ala mewajibkan jihad untuk meninggikan kalimat-Nya, memenangkan
dien-Nya dan membebaskan hamba-hamba-Nya yang beriman dan lemah.
Sekalipun dalam jihad tersebut akan ada nyawa yang melayang. Membebaskan
para tawanan adalah wajib atas jama’ah mulimin, baik dengan perang
maupun dengan harta, yang juga wajib karena lebih ringan dari perang.
Imam Malik berkata,” Masyarakat wajib menebus para tawanan dengan
seluruh harta mereka.” Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat.”
Imam Al Qarafy berkata,” Sebab (jihad) keempat. Imam Al Lakhmy berkata:
Membebaskan tawanan berdasar firman Allah (Mengapa kalian tidak mau
berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik
laki-laki, wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a,” Ya Allah,
keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya dzalim ini dan berilah
kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.” QS.
An Nisa’: 75).
Pengarang Shahibul Bayan menyatakan,” Wajib bagi imam untuk membebaskan
tawanan dengan harta baitul mal. Jika harta baitul mal kurang, maka
wajib membebaskan mereka dengan seluruh harta kaum muslimin,
masing-masing sesuai dengan kemampuannya.”
(b). Juga firman Allah Ta’ala :
ثُمَّ أَنتُمْ هَآؤُلآءِ تَقْتُلُونَ أَنفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ
فَرِيقًا مِّنكُم مِّن دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِم بِاْلإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ وَإِن يَأْتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ
عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ
وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَاجَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ
خِزْيُُ فيِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ
إِلىَ أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“ Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan
mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu
bantu-membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan;
tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka,
padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu
beriman kepada sebagian dari Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian
daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak
lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqoroh: 85).
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengambil perjanjian dari Bani Israil
untuk tidak melakukan tiga kejahatan : memerangi saudara sebangsa
sendiri, mengusir saudara sebangsa sendiri dari negeri mereka dan bahu
membahu dengan musuh dalam memerangi saudara sebangsa sendiri. Ketiga
larangan ini mereka langgar, namun mereka masih menyisakan satu
kebaikan, yaitu apabila ada saudara sebangsa sendiri yang tertawan oleh
musuh dan dijadikan budak, mereka masih mau membeli dan membebaskan si
tawanan tersebut. Meski demikian, Allah menegur mereka dengan keras
dan menyatakan mereka mengimani sebagian Al-Kitab dan mengkufuri
sebagian lainnya.
Imam Al Qurthubi mengatakan tentang makna ayat ini (tetapi jika mereka
datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Al-Baqarah :85):
[وَلَعَمْرُ اللهِ لَقَدْ أَعْرَضْنَا نَحْنُ عَنِ اْلجَمِيعِ
بِالْفِتَنِ فَتَظاهَرَ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ ، لَيْتَ بِالْمُسْلِمِينَ
بَلْ بِالْكَافِرِينَ حَتَّى تَرَكْنَا إِخْوَانَنَا أذِلاَّء
َصَاغِرِينَ ، يَجْرِي عَلَيهِمْ حُكْمُ اْلمُشْرِكِينَ ، فَلاَ حَوْلَ
وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيمِ . قَالَ عُلَمَاؤُنَا
: فِدَاءُ اْلأُسَارَى وَاجِبٌ وَإِنْ لَمْ يَبْـقَ دِرْهَمٌ وَاحِدٌ .
قَالَ ابْنُ خُوَيزِمِنْدَادَ : (تَضَمَّنَتِ اْلآيَةُ وُجُوبَ فَكِّ
اْلأَسْرَى وَبِذَلِكَ وَرَدَتِ اْلآثاَرُ عَنِ النَّبِيَّ أَنَّهُ
فَكَّ اْلأُسَارَى وَأَمَرَ بِفَكِّهِمْ ، وَجَرَى بِذَلِكَ عَمَلُ
اْلمُسْلِمِينَ وَانْعَقَدَ بِهِ اْلإِجْمَاعُ)
“ Demi Allah, kita telah berpaling dari seluruh perintah Allah (keempat
perintah dalam ayat ini, pent) dengan berbagai fitnah (perang saudara,
pent), maka sebagian kita bekerja sama memusuhi sebagian yang lain.
Bukan bekerja sama dengan kaum muslimin, namun dengan kaum kafir (dalam
memusuhi saudara seiman, pent), sehingga kita membiarkan
saudara-saudara kita hina dan tertundukkan (terjajah), atas diri mereka
diberlakukan hukum-hukum kaum musyrik. La haula walaa quwwata illa
billahil ‘aliyyil ‘adzim. Para ulama kami mengatakan,” Menebus para
tawanan itu wajib meski akhirnya tak tersisa harta satu dirhampun.”
Imam Ibnu Khuwaizi Mindad mengatakan:
” Ayat ini mengandung perintah wajibnya membebaskan tawanan. Dalam hal
ini ada hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang
menyatakan beliau menebus para tawanan dan menyuruh membebaskan mereka.
Itulah yang diamalkan oleh kaum muslimin dan telah tercapai ijma’
dalam hal ini.” Wajib membebaskan tawanan dengan harta baitul mal,
kalau tidak ada maka wajib bagi seluruh kaum muslimin. Siapa di antara
mereka sudah melakukannya berarti telah menggugurkan kewajiban itu atas
yang lain.”
قَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللهُ : يَجِبُ عَلَى النَّاسِ فِدَاءُ
أَسْرَاهُمْ وَإِنِ اسْتَغْرَقَ ذَلِكَ أَمْوَالَهُمْ. وَهَذَا إِجْمَاعٌ
أَيْضًا
Imam Malik rahimahullah berkata,” Manusia wajib menebus tawanan-tawanan
mereka sekalipun menghabiskan seluruh harta mereka. Ini juga sudah
menjadi ijma’.”
(c). Hadits Ibnu Umar :
عَنِ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهمَا أَخْبَرَهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ
كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ
عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ
يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,” Seorang muslim adalah saudara bagi seorang muslim lainnya.
Ia tidak akan menzaliminya atau menyerahkannya kepada musuh.
Barangsiapa mengurus keperluan saudaranya, Allah akan mengurus
keperluannya. Barang siapa menghilangkan kesulitan seorang muslim,
Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Dan
siapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aib)nya di
hari kiamat.”
(d). Hadits Abu Hurairah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا
وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا
عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا
يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ *
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,”
Janganlah kalian saling iri ! Janganlah kalian saling jual beli menipu !
Janganlah kalian saling membenci ! Janganlah kalian saling
membelakangi ! Janganlah kalian menawar barang yang sedang ditawar
orang lain ! Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara ! Seorang
muslim adalah saudara muslim yang lain. Ia tidak akan menzaliminya,
mentelantarkannya ataupun merendahkannya.”
Imam An Nawawi berkata :
” وَأَمَّا لاَ يَخْذُلُهُ : فَقَالَ اْلعُلَمَاءُ : اَلْخَذْلُ تَرْكُ
اْلإِعَانَةِ وَالنَّصْرِ ، وَمَعْنَاهُ : إِذَا اسْتَعَانَ بِهِ فِي
دَفْعِ السُّوءِ وَنَحْوِهِ لَزِمَهُ إِعَانَتُهُ إِذَا أَمْكَنَهُ وَلَمْ
يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ شَرْعِيٌّ”
” Laa yakhdzuluhu” para ulama berkata, al-khadzlu adalah tidak membantu
dan tidak menolong, Maknanya, jika seorang muslim meminta bantuannya
untuk menolak keburukan dan hal yang serupa dengannya, ia wajib memberi
bantuan selama memungkinkan dan tidak mempunyai udzur syar’i.”
(e). Hadits Abu Musa Al-Asy’ari :
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمُوا الْجَائِعَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ
وَفُكُّوا الْعَانِيَ
Dari Abu Musa ia berkata, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,” Beri makan orang yang lapar, jenguklah orang yang sakit dan
bebaskanlah orang yang ditawan musuh.”
(f). Hadits Abu Juhaifah Wahab bin Abdillah :
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ قُلْتُ لِعَلِيٍّ
رَضِي اللَّه عَنْه هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ مِنَ الْوَحْيِ إِلَّا مَا فِي
كِتَابِ اللَّهِ ؟ قَالَ لَا. وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ
النَّسَمَةَ مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا فَهْمًا يُعْطِيهِ اللَّهُ رَجُلًا فِي
الْقُرْآنِ وَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ. قُلْتُ وَمَا فِي
الصَّحِيفَةِ ؟ قَالَ الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الْأَسِيرِ وَأَنْ لَا يُقْتَلَ
مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
Abu Juhaifah radiyallahu ‘anhu berkata,” Saya bertanya kepada Ali bin
Abi Thalib : Apakah engkau mempunyai catatan wahyu selain yang ada
dalam kitabullah ?” Ali menjawab,” Tidak. Demi Allah yang telah
membelah biji dan menumbuhkan tunas. Saya tidak mengetahui catatan
wahyu tersebut selain pemahaman Al-Qur’an yang dikaruniakan oleh Allah
kepada seseorang, dan apa yang tertulis dalam lembaran-lembaran ini.”
Aku bertanya,” Apa yang tertulis dalam lembaran-lembaran itu ?” Ali
menjawab,” Hukuman denda (diyat atas pembunuhan atau melukai),
membebaskan tawanan dan seorang muslim yang membunuh seorang kafir
tidak bisa dikenai hukuman mati.”
Imam Ibnu Bathal berkata:
فَكَاكُ اْلأَسِيرِ وَاجِبٌ عَلىَ الْكِفَايَةِ وَبِهِ قَالَ اْلجُمْهُورُ
” Membebaskan tawanan hukumnya fardhu kifayah, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama.”
Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy berkata :
وَفِي اْلبَزَّازِيَّةِ : مُسْلِمَةٌ سُبِيَتْ بِالْمَشْرِقِ وَجَبَ
عَلَى أَهْلِ اْلمَغْرِبِ تَخْلِيصُهَا مِنَ اْلأَسْرِ مَا لَمْ تَدْخُلْ
دَارَ اْلحَرْبِ
” Dalam Al-Fatawa Al-Bazaziyah disebutkan: jika seorang muslimah
ditawan di bumi belahan Timur, maka wajib bagi umat Islam di bumi
belahan Barat untuk membebaskannya selama belum masuk negara kafir.
Bahkan dalam kitab Adz Dzakhirah disebutkan wajib bagi setiap yang
mempunyai kekuatan untuk mengejar mereka demi membebaskan anak-anak dan
wanita yang tertawan meskipun telah masuk negara kafir.”
Imam Abu Yahya Zakaria Al-Anshari (926 H) mengatakan :
” Kalau mereka menawan seorang muslim dan kita masih mempunyai harapan
bisa membebaskannya dari tangan mereka, maka wajib ‘ain jihad melawan
mereka sekalipun mereka tidak masuk negara kita karena kehormatan
seorang muslim lebih besar dari kehormatan negara. Juga karena hadits
Imam Bukhari, ”Bebaskan tawanan.” Jika kita tidak mempunyai harapan
bisa membebaskannya maka jihad tidak menjadi fardhu ‘ain tetapi kita
akhirkan karena dharurah (terpaksa).”
Imam Abi Zaid al Qairawany menyatakan:” Jihad ada dua: fardhu ‘ain dan
fardhu kifayah. Fardhu ‘ain untuk membebaskan tawanan, memenuhi nadzar,
mobilisasi dari imam dan musuh yang menyerang suatu kaum (daerah umat
Islam). “
Imam Ibnul Juzi Al-Maliki berkata,” Jihad menjadi fardhu ‘ain dengan tiga sebab :
a) Perintah Imam. Siapa saja ditunjuk oleh imam wajib berangkat.
b) Musuh menyerang sebagian wilayah kaum muslimin. Penduduk wilayah
yang diserang wajib melawan. Jika mereka tidak mampu mengatasinya, maka
wajib atas kaum muslimin yang terdekat dengan mereka untuk membantu.
Jika ternyata juga tidak teratasi, maka wajib bagi segenap kaum
muslimin memberikan bantuan hingga musuh dapat diatasi.
c) Membebaskan tawanan-tawanan muslim dari tangan orang-orang kafir.
Syaikh Ibrohim bin Abdur Rohim Al-Hudzri berkata,” Jihad akan menjadi fardlu ‘ain pada situasi dan kondisi sebagai berikut:
a) Bila musuh menyerang negeri kaum muslimin sebagaimana yang banyak terjadi pada hari ini.
b) Saat Imam menyerukan seruan jihad secara umum.
c) Sewaktu berhadapan dengan musuh, maka ketika itu tidak boleh meninggalkan medan perang.
d) Wajib bagi orang yang telah ditunjuk oleh Imam.
e) Wajib bagi tentara sebuah negeri.
f) Ketika mulai pertempuran.
g) Ketika orang kafir menawan beberapa kaum muslimin dan menjadikannya tebusan.
Syaikh Yusuf bin Sholih Al-’Ayiri mengatakan,” Memerangi orang kafir di
negeri mereka berubah menjadi fardhu ‘ain, dalam beberapa bentuk yang
disebutkan oleh para ulama, sebagai berikut :
a). Jika imam kaum muslimin menunjuk personal muslim tertentu untuk berjihad.
b). Jika terjadi mobilisasi umum, yaitu saat imam kaum muslimin memerintahkan penduduk sebuah negeri atau daerah.
c). Jika sebagian kaum muslimin menjadi tawanan di tangan orang-orang kafir, sampai mereka terbebaskan.
d). Jika seorang muslim hadir dalam barisan tentara Islam yang sedang
bertempur melawan tentara kafir, maka wajib baginya turut berjihad.
(*sumber: http://thoriquna.wordpress.com)
info lebih lanjut (082226060901 Abu Sulaiman)