Banyak upacara adat yang menjadi tradisi di beberapa lingkungan masyarakat Islam yang sebenarnya tidak diajarkan dalam Islam. Tradisi tersebut ternyata bukan bersumber dari agama Islam, tetapi bersumber dari agama Hindu. Agar lebih jelasnya dan agar umat Islam tidak tersesat, marilah kita telah secara singkat hal-hal yang seolah-olah bermuatan Islam tetapi sebenarnya bersumber dari agama Hindu.
1. Tentang doa selamatan kematian 7, 40, 100 dan 1000 hari
Kita mengenal sebuah ritual keagamaan di
dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian adalah menyelenggarakan
selamatan/kenduri kematian berupa doa-doa, tahlilan, yasinan (karena
yang biasa dibaca adalah surat Yasin) di hari ke 7, 40, 100, dan 1000
harinya. Disini kami mengajak anda untuk mengkaji permasalahan ini
secara praktis dan ilmiah.
Setelah diteliti ternyata amalan
selamatan kematian pada hari yang ditentukan diatas tersebut bukan
berasal dari Al Quran, Hadits (sunah rasul) maupun Ijma Sahabat, malah
kita bisa melacaknya dikitab-kitab agama hindu.
Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dari manusia (Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192). Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samsara (menitis/reinkarnasi).
Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang berbunyi :
“Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu.
Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia mengatakan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu”.
Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia mengatakan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu”.
Sedangkan penyembelihan kurban untuk
orang mati pada hari (hari 1,7,4,….1000) terdapat pada kitab Panca
Yadnya hal. 26, Bagawatgita hal. 5 no. 39 yang berbunyi:
“Tuhan telah menciptakan hewan untuk upacara korban, upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan dunia.”
2. Tentang selamatan yang biasa disebut Genduri (Kenduri atau Kenduren)
Genduri merupakan upacara ajaran Hindu. Masalah ini terdapat pada kitab sama weda hal. 373 (no.10) yang berbunyi:
Sloka prastias mai pipisatewikwani widuse bahra aranggaymaya jekmayipatsiyada duweni narah”.
“Antarkanlah sesembahan itu pada Tuhanmu Yang Maha Mengetahui”. Yang gunanya untuk menjauhkan kesialan.
Juga terdapat pada kitab Siwa Sasana hal. 46 bab ‘Panca maha yatnya’ dan pada Upadesa hal. 34, yang isiya:
a. Dewa Yatnya (selamatan)
Yaitu korban suci yang secara tulus ikhlas ditujukan kepada Sang Hyang
Widhi dengan jalan bakti sujud memuji, serta menurut apa yang
diperintahkan-Nya (tirta yatra) metri bopo pertiwi.
b. Pitra Yatnya Yaitu
korban suci kepada leluhur (pengeling-eling) dengan memuji yang ada di
akhirat supaya memberi pertolongan kepada yang masih hidup.
c. Manusia Yatnya Yaitu korban yang diperuntukan kepada keturunan atau sesama supaya hidup damai dan tentram.
d. Resi Yatnya Yaitu korban suci yang diperuntukan kepada guru atas jasa ilmu yang diberikan (danyangan).
e. Buta Yatnya Yaitu korban suci yang diperuntukan kepada semua makhluk yang kelihatan maupun tidak, untuk kemulyaan dunia ini (unggahan).
3. Tentang upacara untuk wanita hamil ( Telonan, Mitoni dan Tingkepan)
Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering
kita jumpai di tengah-tengah masyarkat adalah tradisi masyarakat Hindu.
Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di
dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana (garba :
perut, Wedana : sedang mengandung). Selama bayi dalam kandungan
dibuatkan tumpeng selamatan/sesaji Telonan, Mitoni, Tingkepan.
Intisari dari sesajinya adalah (terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46) :
1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip)
2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) pada si jabang bayi
3. Janganan, yaitu upacara suguhan
terhadap “Empat Saudara” (sedulur papat) yang menyertai kelahiran sang
bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari (orang Jawa menyebut
kakang kawah adi ari-ari)
Hal ini dilakukan untuk panggilan kepada
semua kekuatan-kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi mempunyai
hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan
kepada ‘Saudara Empat” yang bersama-sama ketika sang
bayi dilahirkan, untuk bersama-sama diupacarai, diberi pensucian dan
suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur
kekuatan alam.
Sedangkan upacara terhadap ari-ari, ialah
setelah ari-ari terlepas dari si bayi lalu dibersihkan dengan air yang
kemudian dimasukkan ke dalam tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke
dalam kendil atau guci. Ke dalamnya dimasukkah tulisan “Aum” agar
sang Hyang Widhi melindungi. Selain itu dimasukkan juga berbagai benda
lain sebagai persembahan kepada Hyang Widhi. Kendil kemudian ditanam di
pekarangan, dikanan pintu apabila bayinya laki-laki, dikiri pintu
apabila bayinya perempuan.
Kendil yang berisi ari-ari ditimbun
dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu, selama tiga bulan. Apa
yang diperbuat kepada si bayi maka diberlakukan juga kepada Saudara
Empat tersebut. Kalau si bayi setelah dimandikan, maka airnya juga
disiramkan kepada kendil tersebut. (Kitab Upadesa, tentang
ajaran-ajaran Agama Hindu, oleh : Tjok Rai Sudharta, MA. dan Drs. Ida
Bagus Oka Punia Atmaja, cetakan kedua 2007)
*****
Dengan beberapa contoh kasus diatas cukup
jelas bagi kita bahwa tradisi-tradisi tersebut sebenarnya berasal dari
ajaran agama Hindu. Pada awalnya langkah akulturasi ini dilakukan para
ulama pelopor penyebaran Islam di Indonesia (Wali Songo) dengan maksud
agar masyarakat Indonesia – yang awalnya memang beragama Hindu – lebih
mudah untuk menerima Islam. Namun strategi dakwah ini tentu tidak
berhenti sampai disana saja. Keislaman seperti itu butuh ‘pemurnian’
karena seperti sabda Rasulullah :
“Jauhilah semua perkara baru (dalam
agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua
bid’ah merupakan kesesatan”. (HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya).
“Sesungguhnya sebaik baik perkataan
adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk muhammad
sholullah alaihi wasalam, sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah
itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”(HR Abu dawud , an-Nasa’i, Akhmad)
Sebagian saudara-saudara muslim kita
mungkin tetap bergigih mempertahankan pencampuran (senkretisasi) ritual
hindu –islam tersebut dengan dalih untuk menghormati kebijaksanaan para
leluhur/nenek moyang. Namun sebagai muslim yang baik apakah kita akan
lebih memegang perkataan nenek moyang kita daripada apa-apa yang di
perintahkan Allah dan RasulNya?
Allah berfirman :
”Dan apabila dikatakan kepada mereka
:”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka menjawab :”(Tidak),
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan)
nenek moyang kami”. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?” (Qs Al Baqarah : 170)
Kita tentu tak mau agama kita yang mulia
ini mengalami nasib serupa seperti agama-agama samawi lainnya (Yahudi
dan Kristen) dimana alasan adat budaya telah mengambil alih dalil-dalil
utama kitab suci sendiri. Karena alasan menghormati leluhur dan budaya
lokal itulah kenapa umat kristiani sampai hari ini masih memperingati 25
Desember (hari kelahiran dewa matahari bangsa Romawi) itu menjadi
hari kelahiran Yesus. Baca : Asal-usul Penetapan 25 Desember Sebagai Hari Kelahiran Yesus
Allah berfirman :“Dan janganlah kamu mencampuradukkan Kebenaran dengan Kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya” (Qs Al Baqarah : 42)
Allah menyuruh kita untuk tidak boleh
mencampuradukkan ajaran agama islam (kebenaran) dengan ajaran agama
Hindu (kebatilan) tetapi kita malah ikut perkataan manusia bahwa
mencampuradukkan agama itu boleh, Apa manusia itu lebih pintar dari
Allah?
Selanjutnya Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagimu”.(Qs. Albaqarah : 208).
Allah menyuruh kita dalam berislam secara kaffah (menyeluruh) tidak setengah-setengah. Setengah Islam setengah Hindu.
*****
Karena seperti yang telah umum diketahui
bahwa tradisi-tradisi Islam diatas banyak dilakukan oleh masyarakat
Islam yang mengaku dari kalangan nahdliyin (NU), maka kami coba kutipkan
beberapa fatwa ulama NU untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pandangan
NU tentang pencampuran (sinkretisasi) ritual islam-hindu ini.
1. Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke 1
Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabi’uts Tsaani 1345 H / 21 Oktober 1926
Tanya :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat
menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah
pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah
untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah
tersebut?
Jawab :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau
hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan
cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum
makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu. Tapi banyak mudharatnya .
2. Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke 5
Di Pekalongan, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1349 H / 7 September 1930 M.
Lihat halaman : 58.
Lihat halaman : 58.
Tanya :
Bagaimana hukumnya melempar kendi yang
penuh air hingga pecah pada waktu orang-orang yang menghadiri upacara
peringatan bulan ke tujuh dari umur kandungan pulang dengan membaca
shalawat bersama-sama, dan dengan harapan supaya mudah kelahiran anak
kelak. Apakah hal tersebut hukumnya haram karena termasuk membuang-buang
uang (tabzir) ?
Jawab :
Ya, perbuatan tersebut hukumnya haram karena termasuk tabdzir.
3. Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke 7
Di Bandung, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1351 H / 9 Agustus 1932 M.
Lihat halaman : 71.
Lihat halaman : 71.
Menanam ari-ari (masyimah/tembuni)
hukumnya sunnah. Adapun menyalakan lilin (lampu) dan menaburkan
bunga-bunga di atasnya itu hukumnya haram, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada manfa’atnya.
Semoga jadi bahan perenungan bagi kita semua. Wassalam.(sumber: http://efrialdy.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar